Libur kenaikan kelas di pondok kali ini terasa berbeda. Liburan kali ini aku melakukan pendakian bersama para santri. Dan bukan sembarang pendakian—karena aku akan mendaki bersama 9 santri dan 2 santri pengabdian yang dulu pernah menjadi muridku.
Mereka adalah: Igo, Amzar, Fathir, Ammar, Ahlam, Eshan, Iyar, Adelva, dan Dzaky. Sementara dua pendampingnya: Khaleed dan Aslam, adalah alumni pondok yang sedang menjalani masa pengabdian.
Ide pendakian ini datang dari Ammar. Awalnya dia mengajak ke Gunung Ciremai—gunung tertinggi di Jawa Barat. Tapi jujur, aku belum siap untuk bertarung dengan ketinggian itu bersama rombongan yang sebagian besar belum pernah naik gunung. Maka, aku arahkan ke Gunung Gede saja. Lebih bersahabat dan relatif ramai pendaki. Kalau terjadi sesuatu di tengah jalur, setidaknya masih bisa minta tolong.
Awalnya aku menolak. Tapi setelah mereka izin ke orang tua dan ternyata didukung penuh, aku tak bisa lagi menolak. Beberapa orang tua bahkan membelikan perlengkapan mahal. Dukungan itu jadi amanah yang harus aku jaga baik-baik.
Kami sepakat bertemu di Stasiun Bogor, 28 Juni 2025, selepas Ashar.
Aku, Aslam, dan Khaleed sudah tiba lebih awal. Tapi seperti biasa… santri datang mendekati Maghrib, dengan napas ngos-ngosan dan ransel lebih besar dari badan mereka. Kami berangkat dengan angkot sewaan. Hujan turun deras. Air menyusup masuk dari celah kaca. Jaketku basah, tapi wajah para santri tetap bersinar—semangatnya melebihi matahari yang hari itu absen.
Kami tiba di basecamp Wayang Bolang sekitar pukul 9 malam. Sholat, makan sedikit, lalu istirahat. Esok pagi, petualangan sesungguhnya dimulai.
29 Juni 2025, pukul 05.30
Setelah sholat Subuh, kami mulai mendaki via jalur Cibodas. Jalur panjang yang penuh kejutan. Baru beberapa menit berjalan, rombongan terpisah. Ternyata Ammar minta izin buang hajat. Kami tunggu sekitar 15 menit. Dari situ, perjalanan terus berlanjut.
Anak-anak luar biasa. Mereka seperti punya baterai cadangan yang tak habis-habis. Sementara aku... baru satu tanjakan, sudah harus tarik napas panjang dan pura-pura foto-foto biar bisa istirahat diam-diam.
Kami tiba di Kandang Badak jam 2 siang. Di situlah rencana berubah.
Anak-anak meminta ingin melihat Alun-Alun Surya Kencana. Padang sabana luas dengan hamparan edelweiss yang memesona. Itu artinya… kami harus lintas jalur dan lanjut ke atas. Aku pikir-pikir, akhirnya setuju. Kami lanjutkan pendakian jam 4 sore, menyusuri tanjakan yang lebih curam: Tanjakan Setan.
Pegangan tali, tanjakan hampir vertikal, napas sesak, kaki gemetar. Tapi mereka tetap semangat. Kenapa malah aku yang lemas? pikirku.
Sebenarnya, sepanjang jalan aku overthingking dan berfikir macam-macam. Khawatir ada yang kena hipotermia, khawatir ada yang kelelahan, khawatir badai turun, dan berbagai kecemasan lain menghantui hingga membuatku masuk angin.
Pukul 8 malam, kami mendirikan tenda dekat puncak—meskipun sebenarnya tidak disarankan. Aku masuk angin, ingin muntah, tapi tak ingin membuat khawatir. Aku diam-diam minum teh hangat sambil berdoa dalam hati: “Ya Allah… kuatkan aku. Ini amanah.”
Khaleed sibuk mendirikan tenda. Aslam menyeduh minuman hangat dan memasak mie untuk semua. Anak-anak masuk ke tenda masing-masing. Aku sekamar dengan Ammar dan Adelva. Suasana tenang. Dingin. Tapi hangat karena kebersamaan.
Sampai... jam 3 dini hari.
Aku terbangun karena tenda roboh. Panik luar biasa. Kupikir ada badai. Ternyata kaki Adelva yang menendang tenda dari dalam. Aku tertawa keras—dan anehnya, masuk angin itu langsung sembuh seketika.
Pagi jam 5.
Kami sholat, beres-beres, angkat sampah, dan lanjut ke puncak. Hanya setengah jam dari tempat camp.
Saat tiba di puncak, wajah mereka berubah. Tak ada lagi canda berisik. Mereka terdiam, menatap kabut dan langit biru yang berselimut awan. Aku tahu, dalam hati mereka sedang bersyukur. Aku sendiri nyaris menangis. Itu adalah pendakian pertama mereka—dan mereka berhasil. Semua. Sampai atas.
Kami turun lewat jalur Putri.
Istirahat di Surya Kencana, padang sabana luas yang seperti potongan surga jatuh di bumi. Aku diam, duduk di antara mereka yang bermain dan bercanda. Mengamati. Menyimpan momen ini dalam kenangan.
Setibanya di bawah, kami istirahat di masjid warga sambil menunggu jemputan. Mereka lelah. Tapi bahagia. Aku lelah. Tapi lega.
Pendakian ini mungkin hanya berlangsung dua hari. Tapi kenangannya akan menempel sepanjang hidup. Aku tidak hanya mendaki bersama santri. Tapi aku juga menyaksikan transformasi mereka—dari anak-anak biasa menjadi pribadi yang kuat, sabar, dan penuh syukur.
Dan di antara semua tawa dan letih, aku belajar satu hal penting:
Kadang, bukan kita yang mendidik santri. Tapi justru mereka yang mendidik kita—tentang semangat, ketulusan, dan keberanian untuk bermimpi lebih tinggi.
Terima kasih, Gunung Gede.
Terima kasih, anak-anak.
Kita tidak hanya mendaki gunung. Kita sedang mendaki hidup. Dan kali ini... kita sudah selangkah lebih tinggi dari sebelumnya.
No comments:
Post a Comment