#Cerpen
Namaku Roby. Sejak pertama kali bertemu Alisa, aku tahu ada sesuatu yang istimewa di antara kami. Dia adalah sosok yang ceria, dengan senyum yang selalu bisa membuat hariku lebih baik. Kami berjalan cukup lama, sering bertemu di kampus dan bercanda, hingga hubungan kami terasa lebih dari sekadar teman. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatiku—Alisa adalah seorang Kristen, sedangkan aku seorang Muslim.
Kami sering menghabiskan waktu bersama, dari belajar bareng hingga sekadar menikmati secangkir kopi di kafe favorit. Suatu malam, saat kami duduk di bawah cahaya bintang, Alisa dengan lugu bertanya, "Roby, kamu percaya sama cinta sejati, nggak?" Pertanyaan itu membuatku terdiam. Tentu saja, aku percaya. Tapi bagaimana aku bisa menjelaskan perasaanku yang rumit ini, di tengah perbedaan keyakinan yang mendasar?
Seiring waktu, rasa sayangku semakin dalam. Namun, rasa takut juga menghinggapi. Aku tidak berani untuk maju, namun tidak bisa juga mundur. Setiap tawa yang kami bagi, setiap cerita yang kami tukar, semakin memperkuat rasa nyaman itu. Namun, di balik semua kebahagiaan itu, aku tahu ada batasan yang tidak bisa kami lewati.
Hari-hari berlalu, dan ketegangan itu semakin nyata. Kami berdua menyadari bahwa perbedaan keyakinan ini bisa menjadi masalah di masa depan. Di satu sisi, aku ingin terus bersamanya, tetapi di sisi lain, aku juga tidak ingin membuatnya merasa tertekan dengan keyakinanku. Kami berusaha untuk mempertahankan hubungan ini, meskipun dengan penuh kesadaran bahwa ada sesuatu yang tidak bisa kami ubah.
Akhirnya, momen itu tiba. Kami duduk di taman, di tempat yang selalu menjadi saksi bisu tawa dan canda kami. Alisa menatapku dengan mata yang penuh arti. "Roby, kita perlu bicara," katanya pelan. Hati ini berdebar kencang, merasakan ada sesuatu yang berat akan diungkapkan.
Dalam percakapan yang panjang itu, kami sama-sama mengerti tanpa harus mengedepankan ego. "Aku mencintaimu, tapi kita tidak bisa terus begini," ucap Alisa. Kata-katanya menusuk hati, namun aku tahu dia benar. Kami harus memilih jalan yang benar-benar terpaksa.
Perpisahan itu terjadi dengan baik-baik saja, namun rasa sakitnya tak terelakkan. Kami berpelukan, menyimpan semua kenangan indah yang telah kami bagi. Saat itu, aku merasa seolah separuh jiwaku hilang. Alisa adalah bagian dari diriku, dan sekarang aku harus melepaskannya.
Seiring waktu, aku belajar untuk menerima kenyataan. Meski perpisahan ini menyakitkan, aku tahu bahwa cinta kami tidak pernah sia-sia. Alisa dan aku adalah dua orang yang bertemu di saat yang tepat, meski dalam perjalanan yang berbeda. Dalam hatiku, dia akan selalu menjadi kenangan manis yang tak akan terlupakan.
Beberapa bulan setelah perpisahan itu, aku mendengar kabar bahwa Alisa telah menikah. Dengan siapa? Ternyata, dia menikah dengan tetanggaku sendiri. Rasa sakit itu kembali menghujam hatiku. Melihat mereka bersama, aku merasakan campuran rasa bahagia dan sedih. Di satu sisi, aku senang Alisa menemukan kebahagiaan, tapi di sisi lain, aku merasa hancur karena tidak bisa menjadi bagian dari hidupnya.
Dan begitulah, perjalanan cinta kami berakhir di titik yang tak terduga. Meski jalan kami kini terpisah, aku akan selalu menghargai setiap detik yang kami lalui bersama. Cinta kami mungkin tidak bisa bersatu, tetapi rasa sayang itu akan selalu ada, terpatri dalam hati masing-masing. Sebagai seorang Muslim, aku yakin bahwa setiap hubungan memiliki tujuan, dan mungkin, hubungan kami adalah pelajaran berharga tentang cinta yang tulus, meskipun dalam batasan yang ada.
No comments:
Post a Comment