Friday, 28 November 2025

Cerita: Kepercayaan yang Hilang, Pelajaran yang Tertanam

Saya menuliskan kisah ini bukan untuk menjelekkan siapa pun, apalagi teman saya sendiri. Saya menuliskannya sebagai pengingat—bahwa hidup sering kali memberi kita pelajaran melalui orang-orang yang pernah hadir dalam perjalanan kita.


Tahun 2017, saya mengikuti sebuah program di Bogor. Program itu menggabungkan dua hal yang sangat saya cintai: tahfidz dan bisnis. Saya tinggal di sebuah asrama kecil bersama tujuh teman dari berbagai daerah di Indonesia. Kami muda, penuh semangat, dan datang dengan harapan besar untuk memperbaiki diri.


Hari-hari kami padat. Pagi kami sibuk dengan hafalan Al-Qur’an, sore hingga malam kami belajar bisnis—baik offline maupun online. Kami pernah berjualan bubur ayam, es lilin yogurt, stiker dinding, buff, hingga susu sapi. Tidak ada yang mudah, tapi setiap usaha kecil itu mengajarkan kami arti perjuangan: mencari modal, membangun strategi, hingga mengelola uang seadanya.


Di bisnis online, kami belajar Facebook Ads, Google Ads, dan digital marketing lainnya. Semua terasa baru, tapi kami belajar bersama—bertumbuh bersama. Lambat laun, usaha kami menghasilkan sesuatu yang tidak pernah kami bayangkan. Di usia 19 tahun, kami mampu mendapatkan omzet dan profit yang sangat besar, bahkan pernah mencapai seratus juta sebulan. Kami merasa bangga, bukan karena uangnya, tapi karena kami bisa bermanfaat untuk orang tua dan orang-orang di sekitar kami.


Setelah program selesai, tersisa empat orang yang tetap melanjutkan perjuangan: saya, Roni, Adam, dan Aris (nama samaran). Aris adalah yang paling tua di antara kami. Karena kami percaya dia paling dewasa, kami sepakat menyimpan seluruh tabungan bisnis di satu rekening, rekening Aris. Setiap bulan kami hanya mengambil sedikit untuk keperluan pribadi, sisanya ditabung untuk masa depan.


Hingga bertahun-tahun, saldo itu terus bertambah. Bahkan tak pernah kurang dari lima ratus juta. Kami sering berbagi kepada orang lain, membantu teman, dan itu membuat kami bahagia. Kami merasa perjalanan kami diberkahi.


Akhir 2019, kami berniat membeli rumah bersama. Rasanya luar biasa bisa punya rumah di usia yang masih belasan. Aris yang mengurus DP rumah itu. Kami percaya penuh.


Awal 2020, muncul kesempatan umrah. Kami ingin pergi bersama, tapi Aris selalu punya alasan. Saat itu pandemi Covid-19 mulai muncul dan akhirnya umrah batal. Namun, di tengah semua itu, rasa curiga muncul pelan-pelan. Ada sesuatu yang terasa janggal.


Kami akhirnya meminta rekening koran untuk melihat tabungan terakhir. Aris sempat menolak, tapi akhirnya menyerah. Saat kami melihat angkanya, dunia serasa runtuh: saldo kami tinggal kurang dari lima puluh juta.


Air mata saya hampir keluar waktu itu. Bukan hanya uangnya yang hilang. Bukan itu. Yang lebih menyakitkan adalah kepercayaan yang patah.


Aris mengakui bahwa ia mengirim uang setiap minggu kepada keluarga dan calon istrinya, tanpa sepengatahuan kami. Ia membutuhkan dana besar untuk menikah di kampung halamannya. Kami terdiam. Antara marah, kecewa, namun juga iba.


Saat kami sibuk mengurus pondok yang baru kami kelola bersama yayasan, Aris tetap tinggal di tempat lama. Hingga suatu hari, saat kami datang ke sana… dia sudah pergi. Pulang ke Sumatera. Membawa semua sisa uang kami.


Awalnya kami ingin menuntut kembali uang itu, tapi lama-kelamaan, rasa marah itu berubah menjadi diam. Kami memutuskan mengikhlaskan. Bukan karena kami kaya, tapi karena kami tahu hidup harus terus berjalan. Kami mulai semuanya dari nol. Trauma itu ada, luka itu ada, tapi hidup tidak memberi kita pilihan selain melangkah lagi.


Dan di situlah pelajaran besar itu tertanam:

Kepercayaan adalah anugerah yang mahal.
Tidak semua orang mampu menjaganya, bahkan orang yang paling dekat sekalipun.
Tapi bukan berarti kita harus membenci mereka. Kadang, manusia melakukan kesalahan karena tekanan, kebutuhan, atau ketidakmampuan menghadapi hidup.

Dari kejadian itu, saya belajar:

Percayalah kepada orang lain, tapi jangan percayakan semuanya.
Belajarlah bersikap baik, tapi tetap berhati-hati.
Ikhlas itu berat, tapi selalu membuat langkah menjadi ringan.

Semoga kisah ini menjadi pelajaran bagi siapa pun yang membacanya.
Bahwa dalam hidup, kita bisa kehilangan uang, kehilangan barang, bahkan kehilangan teman.
Tapi jangan sampai kita kehilangan hati yang ikhlas, dan niat baik untuk terus menjadi manusia yang lebih baik.

8 comments:

  1. Ya Allah, pengalaman pahit banget. Semoga diganti yg lebih lebih ya Ust

    ReplyDelete
  2. assalamualaikum ustadz lutfi, ceritanya ngalir banget dan bikin haru, sedih banget 😭😭😭 Semoga dikasih pengganti yg lebih lebih lebih dari Allah

    ReplyDelete
    Replies
    1. waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Aamiin terima kasih sudah mampir

      Delete
  3. selalu suka sama cerita mas lutfi, walaupun kali ini sedih

    ReplyDelete
    Replies
    1. hehe masyaAllah terima kasih sudah mampir

      Delete
  4. cerita yang menginspirasi. Salam kenal ustadz lutfi, dari wali santri

    ReplyDelete
    Replies
    1. Salam kenal kembali bapak. Terima kasih sudah membaca

      Delete