Aku adalah wali kelas XI di SMK IT Cyber Global Orenz. Sekaligus itu, aku juga menjadi pendamping mereka di Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah. Ini adalah kali kedua aku membersamai mereka—angkatan yang sejak awal begitu dekat dengan proses belajarku sebagai seorang pendidik. Sebelumnya, aku sudah menjadi wali kelas mereka saat mereka masih duduk di kelas X.
Waktu itu, aku masih baru belajar memahami peran ini. Baru belajar menahan diri, belajar memahami, belajar mendengar tanpa harus selalu menanggapi. Dari mereka aku banyak belajar, bahwa menjadi wali kelas bukan hanya tentang mengatur dan menegur, tapi juga tentang berusaha memahami isi hati manusia yang sedang tumbuh.
Usia kami tak terpaut jauh—sekitar sepuluh tahun saja. Kadang kami seperti abang dan adik. Kadang aku harus menenangkan mereka yang sedang marah, padahal aku sendiri masih belajar menenangkan diri. Kadang aku menasihati mereka dengan sungguh-sungguh, lalu diam-diam menasihati diriku sendiri setelahnya. Aku belum bisa menjadi wali kelas yang sempurna, tapi aku berusaha untuk selalu hadir, sekecil apa pun kehadiran itu.
Kini, mereka sudah di kelas XI. Tahun ini tidak mudah bagi mereka. Seluruhnya menjadi pengurus OSIS—memikul tanggung jawab besar yang menuntut kedewasaan lebih cepat. Ada yang dikritik karena tegas, ada yang disalahpahami karena diam, ada yang kelelahan karena ingin melakukan segalanya dengan baik. Di antara tekanan itu, aku berusaha hadir di sela-sela waktu mereka, sekadar untuk mengatakan: kalian tidak sendiri.
Aku mencoba menjadi abang bagi mereka. Menyapa dengan tenang di tengah riuhnya kegiatan. Mendengarkan cerita panjang mereka tanpa terburu-buru memberi solusi. Menenangkan ketika semangat mereka mulai retak. Karena aku tahu, kadang yang paling dibutuhkan bukan nasihat, tapi keberadaan seseorang untuk mendengarkan.
Melihat mereka sekarang, ada rasa haru yang sulit dijelaskan. Anak-anak yang dulu masih kikuk menulis laporan, kini bisa berdiri di depan forum, memimpin rapat, mengambil keputusan, dan menanggung kritik. Mereka tumbuh, pelan-pelan tapi nyata.
Aku sadar, aku bukan wali kelas terbaik. Aku masih sering salah menilai, kadang terlalu keras, kadang terlalu lembut. Tapi dari mereka, aku belajar sesuatu yang tak diajarkan oleh buku mana pun: bahwa mendampingi bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang hadir dengan hati yang tulus.
Suatu hari nanti, ketika mereka melangkah pergi, aku tahu yang tertinggal bukan hanya nama di daftar presensi. Tapi jejak langkah, tawa, dan perjuangan yang pernah hidup di ruang ini. Semuanya akan tetap tinggal—sebagai kenangan, sebagai doa, dan sebagai pengingat bahwa aku pernah menjadi bagian kecil dari perjalanan mereka menuju dewasa.

No comments:
Post a Comment