Friday, 18 July 2025


doc. pribadi - Santri Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah


Pagi itu, langit pondok tampak biasa saja. Matahari belum muncul sepenuhnya, namun ruang masjid sudah penuh sesak dengan barisan putih yang khusyuk mendengarkan nasihat. Deretan kopiah putih dan sorban kecil tampak rapi, seakan menyatu dalam satu irama perjuangan. Tidak semua dari mereka tersenyum. Beberapa tampak lelah. Dan di sudut-sudut ruangan itu, ada mata-mata yang mulai basah.


Air mata yang jatuh bukan tanpa sebab. Rindu pada rumah yang tak kunjung dikunjungi, rasa lelah yang menumpuk karena bangun dini hari, beban pelajaran yang belum terselesaikan, atau hati yang lelah karena merasa tidak dipahami. Ada kalanya semua itu menjadi gelombang yang sulit dihadapi oleh jiwa muda yang sedang belajar menjadi kuat.


Namun, wahai santri...
Air matamu terlalu mahal,
jangan biarkan ia tumpah hanya karena lelah yang sifatnya sesaat.


Air mata itu adalah saksi keikhlasanmu. Jangan biarkan ia jatuh sia-sia hanya karena hari ini terasa lebih berat dari biasanya. Tahanlah sebentar saja. Sebab seringkali, keajaiban datang tepat setelah batas terakhirmu diuji.


Ingatkah kau, untuk apa kau datang ke pondok ini?
Bukan sekadar untuk bisa membaca kitab atau menghafal ayat.
Tapi untuk membentuk jiwamu agar kuat dalam sabar, matang dalam berpikir, dan halus dalam hati.


Hidup di pesantren memang tak menawarkan kemewahan.
Tidak ada kasur empuk, tidak ada makanan mewah, dan terkadang tidak ada peluk hangat saat kau menangis. Tapi justru di balik semua kesederhanaan itulah, Allah sedang menempa dirimu menjadi seseorang yang kelak akan dimuliakan oleh ilmu dan perjuangan.


Setiap langkahmu menuju masjid dicatat.
Setiap hafalan yang kau ulang meski kau lupa, diberi ganjaran.
Setiap rasa sabar yang kau tahan saat temanmu menyakiti hatimu, semua dihitung oleh Allah.
Kau tidak sendirian. Meski tidak semua orang melihat perjuanganmu, langit selalu mencatatnya dengan detail yang tak kau duga.


Dan kelak, saat hidup sudah berjalan lebih jauh,
kau akan menoleh ke masa-masa ini dengan bangga.
Kau akan berkata dalam hati,
"Aku pernah hampir menyerah, tapi aku memilih bertahan."


Santri bukan sekadar gelar.
Ia adalah panggilan jiwa yang siap mengabdi.
Menjadi santri berarti siap ditempa oleh sabar, diuji oleh waktu, dan dipahat oleh doa-doa panjang di sepertiga malam.
Bukan kehidupan yang mudah, tapi pasti penuh berkah.


Maka, jika hari ini kau menangis, tidak apa.
Tapi biarlah air mata itu jatuh dalam sujud, bukan karena ingin pulang, tapi karena ingin dikuatkan.
Bukan karena tak sanggup, tapi karena sedang ingin dipeluk oleh doa-doa langit.


Ingatlah,
Air matamu terlalu mahal.
Ia bukan untuk dibayar dengan rasa lelah sesaat.
Tapi untuk dibayar dengan kemenangan besar di masa depan—di dunia dan terutama di akhirat.


Karena boleh jadi, di antara sekian banyak manusia yang berjalan di bumi,
kamulah yang paling diperhatikan oleh langit hari ini.

Sunday, 6 July 2025

Libur kenaikan kelas di pondok kali ini terasa berbeda. Liburan kali ini aku melakukan pendakian bersama para santri. Dan bukan sembarang pendakian—karena aku akan mendaki bersama 9 santri dan 2 santri pengabdian yang dulu pernah menjadi muridku.


Mereka adalah: Igo, Amzar, Fathir, Ammar, Ahlam, Eshan, Iyar, Adelva, dan Dzaky. Sementara dua pendampingnya: Khaleed dan Aslam, adalah alumni pondok yang sedang menjalani masa pengabdian.


Ide pendakian ini datang dari Ammar. Awalnya dia mengajak ke Gunung Ciremai—gunung tertinggi di Jawa Barat. Tapi jujur, aku belum siap untuk bertarung dengan ketinggian itu bersama rombongan yang sebagian besar belum pernah naik gunung. Maka, aku arahkan ke Gunung Gede saja. Lebih bersahabat dan relatif ramai pendaki. Kalau terjadi sesuatu di tengah jalur, setidaknya masih bisa minta tolong.


Awalnya aku menolak. Tapi setelah mereka izin ke orang tua dan ternyata didukung penuh, aku tak bisa lagi menolak. Beberapa orang tua bahkan membelikan perlengkapan mahal. Dukungan itu jadi amanah yang harus aku jaga baik-baik.


Kami sepakat bertemu di Stasiun Bogor, 28 Juni 2025, selepas Ashar.

Aku, Aslam, dan Khaleed sudah tiba lebih awal. Tapi seperti biasa… santri datang mendekati Maghrib, dengan napas ngos-ngosan dan ransel lebih besar dari badan mereka. Kami berangkat dengan angkot sewaan. Hujan turun deras. Air menyusup masuk dari celah kaca. Jaketku basah, tapi wajah para santri tetap bersinar—semangatnya melebihi matahari yang hari itu absen.


Kami tiba di basecamp Wayang Bolang sekitar pukul 9 malam. Sholat, makan sedikit, lalu istirahat. Esok pagi, petualangan sesungguhnya dimulai.


29 Juni 2025, pukul 05.30

Setelah sholat Subuh, kami mulai mendaki via jalur Cibodas. Jalur panjang yang penuh kejutan. Baru beberapa menit berjalan, rombongan terpisah. Ternyata Ammar minta izin buang hajat. Kami tunggu sekitar 15 menit. Dari situ, perjalanan terus berlanjut.


Anak-anak luar biasa. Mereka seperti punya baterai cadangan yang tak habis-habis. Sementara aku... baru satu tanjakan, sudah harus tarik napas panjang dan pura-pura foto-foto biar bisa istirahat diam-diam.


Kami tiba di Kandang Badak jam 2 siang. Di situlah rencana berubah.


Anak-anak meminta ingin melihat Alun-Alun Surya Kencana. Padang sabana luas dengan hamparan edelweiss yang memesona. Itu artinya… kami harus lintas jalur dan lanjut ke atas. Aku pikir-pikir, akhirnya setuju. Kami lanjutkan pendakian jam 4 sore, menyusuri tanjakan yang lebih curam: Tanjakan Setan.


Pegangan tali, tanjakan hampir vertikal, napas sesak, kaki gemetar. Tapi mereka tetap semangat. Kenapa malah aku yang lemas? pikirku.


Sebenarnya, sepanjang jalan aku overthingking dan berfikir macam-macam. Khawatir ada yang kena hipotermia, khawatir ada yang kelelahan, khawatir badai turun, dan berbagai kecemasan lain menghantui hingga membuatku masuk angin.


Pukul 8 malam, kami mendirikan tenda dekat puncak—meskipun sebenarnya tidak disarankan. Aku masuk angin, ingin muntah, tapi tak ingin membuat khawatir. Aku diam-diam minum teh hangat sambil berdoa dalam hati: “Ya Allah… kuatkan aku. Ini amanah.”


Khaleed sibuk mendirikan tenda. Aslam menyeduh minuman hangat dan memasak mie untuk semua. Anak-anak masuk ke tenda masing-masing. Aku sekamar dengan Ammar dan Adelva. Suasana tenang. Dingin. Tapi hangat karena kebersamaan.


Sampai... jam 3 dini hari.

Aku terbangun karena tenda roboh. Panik luar biasa. Kupikir ada badai. Ternyata kaki Adelva yang menendang tenda dari dalam. Aku tertawa keras—dan anehnya, masuk angin itu langsung sembuh seketika.


Pagi jam 5.

Kami sholat, beres-beres, angkat sampah, dan lanjut ke puncak. Hanya setengah jam dari tempat camp.



Saat tiba di puncak, wajah mereka berubah. Tak ada lagi canda berisik. Mereka terdiam, menatap kabut dan langit biru yang berselimut awan. Aku tahu, dalam hati mereka sedang bersyukur. Aku sendiri nyaris menangis. Itu adalah pendakian pertama mereka—dan mereka berhasil. Semua. Sampai atas.


Kami turun lewat jalur Putri.

Istirahat di Surya Kencana, padang sabana luas yang seperti potongan surga jatuh di bumi. Aku diam, duduk di antara mereka yang bermain dan bercanda. Mengamati. Menyimpan momen ini dalam kenangan.

Setibanya di bawah, kami istirahat di masjid warga sambil menunggu jemputan. Mereka lelah. Tapi bahagia. Aku lelah. Tapi lega.


Pendakian ini mungkin hanya berlangsung dua hari. Tapi kenangannya akan menempel sepanjang hidup. Aku tidak hanya mendaki bersama santri. Tapi aku juga menyaksikan transformasi mereka—dari anak-anak biasa menjadi pribadi yang kuat, sabar, dan penuh syukur.


Dan di antara semua tawa dan letih, aku belajar satu hal penting:

Kadang, bukan kita yang mendidik santri. Tapi justru mereka yang mendidik kita—tentang semangat, ketulusan, dan keberanian untuk bermimpi lebih tinggi.


Terima kasih, Gunung Gede.

Terima kasih, anak-anak.

Kita tidak hanya mendaki gunung. Kita sedang mendaki hidup. Dan kali ini... kita sudah selangkah lebih tinggi dari sebelumnya.



Thursday, 26 December 2024

 

Sebagai seorang guru, saya merasa sangat terinspirasi dan tersentuh setelah menonton film Laskar Pelangi. Film ini, yang diadaptasi dari novel karya Andrea Hirata, membawa saya untuk merenungkan kembali peran pendidikan dalam kehidupan setiap individu, khususnya di daerah yang kurang mendapat perhatian.


Laskar Pelangi menceritakan kisah perjuangan 10 anak dari desa terpencil di Belitung, yang dipimpin oleh seorang guru wanita bernama Bu Muslimah, yang penuh dedikasi dan pengabdian. Walaupun terbatas oleh segala keterbatasan, mulai dari fasilitas hingga dukungan, semangat belajar mereka tidak pernah padam. Setiap anak di dalam kelompok ini memiliki karakter dan impian yang berbeda, namun mereka semua bersatu karena kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan rasa ingin tahu yang besar.


Sebagai seorang guru, saya bisa merasakan betapa beratnya tugas Bu Muslimah dalam mendidik dan membimbing anak-anak yang hidup dalam kondisi yang penuh tantangan. Dedikasinya untuk mencerdaskan anak-anak, meskipun harus berhadapan dengan berbagai kekurangan, mengingatkan saya pada nilai-nilai yang seharusnya dimiliki oleh setiap pengajar: kesabaran, ketulusan, dan komitmen untuk melihat anak-anak tumbuh dan berkembang.


Salah satu hal yang sangat mengena bagi saya adalah bagaimana film ini menunjukkan bahwa pendidikan tidak hanya tentang transfer ilmu secara akademis, tetapi juga tentang bagaimana guru dapat menjadi pilar untuk memberi semangat, kepercayaan diri, dan harapan bagi anak-anak. Di tengah keterbatasan sarana dan prasana, para siswa di Laskar Pelangi menunjukkan bahwa kemauan dan semangat yang tinggi jauh lebih penting daripada fasilitas yang ada.


Pesan lain yang tersampaikan adalah tentang pentingnya menghargai setiap individu, terlepas dari latar belakang atau kondisi ekonomi mereka. Anak-anak dalam Laskar Pelangi mungkin tidak memiliki segalanya, namun mereka memiliki mimpi dan rasa ingin tahu yang kuat, yang seharusnya menjadi inspirasi bagi kita semua, terutama sebagai pendidik.


Secara visual, film ini sangat menggugah hati. Lanskap Belitung yang indah memberikan latar belakang yang kuat untuk cerita, namun yang lebih penting adalah bagaimana karakter-karakter dalam film ini digambarkan dengan sangat manusiawi. Saya merasa sangat dekat dengan setiap anak dalam kelompok Laskar Pelangi—mereka tidak hanya sekadar murid, tetapi juga bagian dari perjalanan kita sebagai guru.


Akhir kata, Laskar Pelangi bukan hanya sebuah film yang menyentuh, tetapi juga mengajarkan kita tentang nilai-nilai pendidikan sejati: perjuangan, harapan, dan cinta yang tanpa syarat. Sebagai seorang guru, film ini mengingatkan saya untuk terus berusaha memberikan yang terbaik bagi murid-murid saya, tidak peduli seberapa besar tantangan yang saya hadapi. Pendidikan adalah kunci untuk membuka dunia yang lebih baik, dan film ini adalah bukti nyata dari hal tersebut.

Tanggal 21-22 Desember kemarin, para santri di Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah ikut berlaga di turnamen silat KIBAR PADJADJARAN CUP 2 yang diadakan di GOR Depok. Sebagai pengurus di pesantren, aku merasa excited banget buat ikutan dukung mereka, walaupun akhirnya aku datang di hari kedua. Di hari pertama, aku udah dapet banyak kabar dari WhatsApp tentang pencapaian mereka. Ternyata, beberapa santri udah berhasil membawa pulang medali, mulai dari perunggu, perak, sampai emas.


Salah satu yang bikin aku bangga banget adalah Faathir, salah satu santri yang dapet medali emas. Tahun lalu, dia juga bawa pulang medali emas di ajang yang sama. Tapi, cerita perjalanan Faathir gak semulus itu loh. Tahun lalu, dia hampir gak bisa ikut karena tangannya infeksi bernanah akibat scabies. Bayangin aja, sempet hampir batal bertanding gara-gara kondisi tersebut, tapi dia tetep ngotot buat ikut dan akhirnya berhasil bawa emas.


Tahun ini, kisah Faathir gak jauh beda. Di semifinal, dia sempet cidera di tangannya pas lawan Fhajar, sesama santri Ponpes Orenz. Cidera itu cukup parah, sampai-sampai dia hampir disuruh mundur dari pertandingan. Tapi, Faathir dengan penuh semangat pilih untuk lanjut ke final, dan akhirnya dia berhasil meraih medali emas untuk kedua kalinya. Bangga banget liat semangat juangnya yang gak pernah padam!


Setelah pertandingan selesai, Faathir langsung dilarikan ke Rumah Sakit Mitra Keluarga Depok buat dapetin penanganan atas cideranya. Baru tanggal 22 Desember, aku dateng ke GOR Depok buat nyaksiin sisa pertandingan yang ada. Setelah itu, aku langsung meluncur ke rumah sakit buat jenguk Faathir. Sampai di sana, Faathir keliatan happy banget, meskipun tangannya masih agak bengkak. Tapi yang jelas, medali emasnya masih terkalung dengan bangga di lehernya.


Walaupun Faathir udah dua hari dirawat, dia dan keluarganya masih harus nunggu hasil rontgen buat ngeliat kondisi tangan yang cidera itu. Di sana, aku ketemu sama ayah, bunda, kakak, dan adiknya Faathir. Keluarganya keliatan banget ngedukung dan bangga dengan apa yang udah Faathir capai. Sambil ngobrol, aku mendoakan semoga Faathir cepat sembuh dan bisa menikmati liburannya di rumah.


Akhirnya, aku pamitan buat pulang setelah ngobrol dan mendoakan Faathir. Rasanya seneng banget bisa liat semangat juang dan ketekunan Faathir yang akhirnya berbuah manis. Semoga dia segera pulih dan bisa terus berprestasi, gak cuma di silat, tapi juga di kehidupan sehari-hari.

Monday, 16 December 2024

Pada tanggal 10 Desember 2024, saya melakukan kegiatan rihlah bersama para santri Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah. Kegiatan ini merupakan agenda rutin yang diadakan setiap tiga bulan sekali. Rihlah sebelumnya diadakan di curug dan dipisah antara santri SMP dan SMK. Kali ini, saya mencoba untuk mengajak santri mengikuti hobi saya yang suka berpetualang, dengan mengadakan camping di alam terbuka. Melihat respon yang antusias dari para santri, saya semakin bersemangat untuk mewujudkan kegiatan ini.

Persiapan

Persiapan untuk kegiatan camping ini cukup panjang. Pertama, saya mulai dengan menghubungi teman-teman di wilayah Bogor dan beberapa siswa dari sekolah lain untuk memberikan rekomendasi tempat camping yang cocok untuk santri Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah. Dari berbagai rekomendasi yang saya terima, saya kemudian memutuskan untuk melakukan survei langsung ke lokasi-lokasi yang disarankan.

Setelah mengunjungi beberapa tempat, akhirnya saya jatuh hati pada sebuah lokasi bernama Seureuh Hejo. Meskipun fasilitas di sana lebih minim dibandingkan tempat lain, saya merasa tempat ini memiliki pesona tersendiri yang membuat saya yakin bahwa ini adalah pilihan yang tepat untuk camping santri. Keputusan saya didasarkan pada beberapa pertimbangan penting, seperti keamanan lokasi, akses air yang cukup, dan tentunya harga yang ramah di kantong. Oh iya, selain itu, adanya warung dengan harga yang standar juga memikat saya untuk memastikan Seureuh Hejo sebagai lokasi camping/

Setelah memastikan bahwa Seureuh Hejo aman digunakan untuk camping, saya langsung menemui pengelola tempat tersebut. Banyak hal yang saya pertimbangkan dalam memilih Seureuh Hejo, selain biaya sewa yang terjangkau, saya juga memastikan lokasi ini bebas dari ancaman bencana alam dan memiliki aksesibilitas yang baik. Setelah berdiskusi panjang dengan pengelola, saya langsung melakukan pemesanan untuk tanggal 10-11 Desember 2024.

Lokasi Seureuh Hejo

Seureuh Hejo adalah sebuah tempat camping yang terletak di Leuwisadeng, Bogor, dengan ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut. Meskipun fasilitas di sana tergolong sederhana, keindahan alamnya sangat memukau. Pemandangan dari Seureuh Hejo sangat menawan, terutama pada malam hari ketika city light Bogor tampak jelas dari atas sana. Keasrian alam, udara sejuk, dan ketenangan tempat ini menjadikannya pilihan yang sempurna untuk kegiatan rihlah ini.

Tenda-tenda camping sudah disiapkan oleh pengelola dan juga beberapa anggota OSIS yang datang lebih awal untuk memastikan semuanya siap. Keberadaan mereka sangat membantu mengingat cuaca yang sempat hujan deras menjelang kedatangan kami. Namun, meskipun fasilitas minim, tempat ini sangat cocok untuk memberikan pengalaman alam yang berkesan bagi para santri.

Biaya yang Dikeluarkan

Biaya tiket masuk dan camping ke Seureuh Hejo adalah Rp15.000 per santri dan kami mendapat gratis masuk untuk 10 pendamping. Selain tiket masuk, beberapa pengeluaran lain yang saya siapkan adalah untuk kendaraan, sewa tenda, dan juga konsumsi, serta beberapa perlengkapan lain.

Kegiatan Hari H di Seureuh Hejo

Hari yang dinantikan pun tiba. Pada tanggal 10 Desember 2024, setelah sholat Dhuhur, kami berangkat menuju Seureuh Hejo menggunakan 15 angkot dan 1 mobil pondok. Jarak dari Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah ke Seureuh Hejo sekitar 5 km. Para santri tampak bersemangat dan penuh kegembiraan.

Sebenarnya, sebelum berangkat, banyak pesan masuk dan peringatan yang datang. Mulai dari lokasi Seureuh Hejo yang katanya angker dan sering ada kesurupan di sana, cuaca hujan yang akan merusak acara, hingga ancaman pohon tumbang, semuanya sempat membuat saya down dan ingin membatalkan acara. Namun, semangat dan antusias santri sungguh membuat saya menjadi makin semangat dalam menyiapkan kagiatan camping ini.

Setibanya di lokasi, meskipun sempat turun hujan deras selama perjalanan, para santri tetap antusias melihat pemandangan alam yang begitu indah. Tenda-tenda sudah terpasang dengan baik, berkat bantuan pengurus OSIS yang datang lebih awal untuk memastikan semuanya siap sebelum kedatangan kami. Para santri pun segera menuju tenda masing-masing.

Saya mengumpulkan santri dan memberikan pengarahan kepada mereka. Para santri memahami dan siap mengikuti kegiatan dengan baik.

Pada malam hari, kami merencanakan pentas seni dan pembagian hadiah classmeeting. Namun, hujan kembali turun, sehingga kami memutuskan untuk menunda kegiatan tersebut dan mengarahkan santri untuk beristirahat di tenda mereka. Saat hujan reda, sekitar pukul 10 malam, pemandangan city light dari atas Seureuh Hejo begitu mempesona. Meskipun tidak ada pentas seni, suasana malam yang dingin dan pemandangan indah membuat semua santri menikmati malam itu dengan penuh kehangatan.

Keesokan paginya, saya membangunkan santri untuk sholat Subuh dan segera melanjutkan dengan pembagian hadiah classmeeting yang seharusnya dilakukan malam sebelumnya. Setelah itu, para santri bersiap-siap untuk sarapan dan melanjutkan kegiatan outbond. Kegiatan outbond dibagi menjadi dua kelompok, yaitu santri SMP dan santri SMK. Berbagai permainan dan tantangan disediakan, dan para santri dengan antusias mengikuti setiap kegiatan yang ada.

Meskipun hujan sempat mengganggu, kebahagiaan dan kegembiraan para santri selama kegiatan berlangsung membuat semua perencanaan dan kerja keras kami terasa terbayar. Saya sangat bahagia melihat senyum mereka, dan saya tahu bahwa ini adalah momen yang saya harap akan mereka ingat selamanya. Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, mulai dari pengelola Seureuh Hejo hingga para pengurus OSIS yang telah bekerja keras agar kegiatan ini berjalan dengan lancar.

Kegiatan camping ini benar-benar menjadi pengalaman yang luar biasa, baik bagi saya maupun para santri. Meskipun cuaca tidak selalu mendukung, semangat dan kebersamaan yang tercipta membuat semua rintangan terasa ringan. Kegiatan rihlah kali ini membuktikan bahwa berpetualang di alam terbuka tidak hanya memberikan pengalaman fisik, tetapi juga mempererat tali persaudaraan dan kebersamaan di antara santri Pondok Pesantren Orenz Miftahul Barokah. Semoga kegiatan seperti ini bisa terus berlangsung dan memberikan manfaat yang lebih besar di masa depan.

Berikut adalah Tips melakukan kegiatan camping di alam terbuka.

  • Persiapkan Peralatan dengan Matang: Pastikan semua peralatan, seperti tenda, matras, dan perlengkapan lainnya, dalam kondisi baik dan sesuai kebutuhan.
  • Periksa Cuaca: Sebelum berangkat, periksa ramalan cuaca untuk mengantisipasi kondisi ekstrem seperti hujan atau angin kencang.
  • Pilih Lokasi yang Aman: Tentukan lokasi camping yang bebas dari ancaman bencana alam, memiliki akses air, dan fasilitas darurat yang memadai.
  • Kenali Potensi Bahaya: Waspadai hewan liar, tanaman beracun, atau potensi bahaya alam lainnya, serta selalu ikuti petunjuk pengelola lokasi.
  • Buat Rencana Keamanan: Siapkan rencana evakuasi dan pastikan setiap peserta tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat.
  • Jaga Kebersihan dan Lingkungan: Selalu bersihkan area camping setelah selesai, serta hindari merusak alam dengan membuang sampah sembarangan.